Haloo, kali ini gue mau share tentang cerita drama gue .Ini sebenarnya
buat drama bahasa Inggris, tapi ini naskah aslinya jadi masih pake bahasa
Indonesia. Sumbernya dari cerpen bikinan temen gue @siskarfa .Dari judulnya aja udah keliatan kalo cerpen ini tentang semangat nasionalis. Cerita ini buat mengenang jasa para pahlawan kita dan juga di dalamnya diselipin juga kisah cinta dan keluarga. Seru deh.Pokoknya baca aja deh . Happy reading ya ,gue harap lo
semua suka sama cerita yang di dalemnya sarat akan pesan nasionalis .(langsung
nyanyi Indonesia Raya). Oke kita mulai aja yah cerpennya .
Kuletakkan
tas sekolahku lalu kurebahkan tubuh ini di sebuah sofa kecil untuk melepas
lelah. Hari ini terasa begitu panas. Padahal sang surya baru saja menampakkan
dirinya pada dunia. Ya hari ini aku pulang sekolah lebih awal dari biasanya.
Kuraih remote televisi dan langsung terdengar alunan lagu kemerdekaan yang
bersenandung indah di telinga ku selain itu seluruh stasiun televisi pun menayangkan
siaran langsung upacara hari kelahiran bangsa kita Indonesia tercinta di Istana
negara. Ya hari ini bertepatan dengan hari kelahiran bangsa kita. Genap lah
sudah usia bangsa kita. Sudah 66 tahun bangsa kita merdeka tapi sudahkah kita
benar-benar merdeka..? Selama ini masih banyak sekali konflik yang
menyelimutinya tak hanya itu demo pun banyak terjadi disana sini. Terbangun
dari lamunan sesaat meingat betapa menyedihkan keadaan Ibu Pertiwi saat
ini. Tiba-tiba ibuku memanggil.
“Marwah tolong ambilkan buku masak ibu di kamar.!”
“baik
bu”
Bergegaslah
aku pergi ke kamar ibu dan mencari buku yang diingkan beliau. Tak butuh waktu
lama untuk mencari buku itu. hanya degan lirikan mata aku mampu mengetahui
dimana buku itu. kuambil buku itu dan segera pergi menuju dapur. Tapi ketika aku
ingin pergi kedapur. Mataku tertuju pada sebuah ruangan dengan pintunya yang
agak terbuka. Entah mengapa aku merasa rungan itu memaksaku untuk
memasukinya.
“yah
mungkin mama gak keberatan jika dia harus menunggu sebentar saja. Hemz aku
hanya ingin melihat saja”
Kuputuskan
memasuki ruangan itu. suasana berbeda langsung menyelimutiku. Terpajang sebuah
foto disudut ruangan itu. tempat ini masih belum berubah. Hanya ada sebuah
kasur meja rias lemari kecil. teringat akan 7 tahun lalu saat nenek ku yang kusayangi
masih ada. Disinilah tempat beliau beristirahat dan disinilah beliau sering
menceritakan beberapa dongeng-dongeng jaman penjajahan padaku. Namun kini semua
hanyalah kenangan. Tuhan telah memanggil beliau disaat umurku genap 10 tahun.
Mataku semakin tertuju pada sebuah laci terletak di samping kasur itu.
kuhampiri laci itu lalu perlahan kubuka laci itu. tergeletak sebuah buku yang
tampak kusam. Ku ambil buku itu. lalu kubersihkan dari debu-debu yang
menyelimutinya.
“tampaknya
buku ini sudah lama sekali.” Pikirku dalam hati
Ku
buka perlahan buku itu dan dihalaman pertama tertulis.
‘Buku ini kutulis untuk suamiku,
anakku serta cucuku yang tercinta’
Maimunah
“ternyata
ini buku harian nenek.” Semakin penasaran akirnya kubuka halaman demi halaman
buku itu dan banyak sekali tulisan nenek disini. Ternyata semua dongeng yang
diceritakan nenek itu benar. Dan nenek menulisnya pada buku harian ini.
22
maret 1945
Masih tersimpan dalam memoriku. Saat
dimana belanda mulai menjajah negeri ibu pertiwi ini. Wajah ibu pertiwi yang
dulu selalu tersenyum kini telah sirna oleh perlakuan para penjajah. Sungguh
belanda begitu keji. Aku yang saat ini masih duduk di bangku SMP harus rela
kehilangan ibuku tercinta. Ayahku tertembak mati di medan perang. Seluruh
penduduk desa dibunuh secara keji. Banyak warga yang dijadikan budak dan
wanita-wanita dijadikan pemuas nafsu belanda. Seluruh warga dipekerjakan tanpa
diberi upah. Mereka harus membayar pajak setiap harinya. Dan bagi mereka yang
tidak membayar pajak mereka akan dihukum mati. Namun disisi lain banyak sekali
kaum pemuda yang berjuang demi kemerdekaan bangsa walau mereka harus rela mati
ditangan penjajah. Tapi aku layak bersyukur. Aku mungkin termasuk warga yang
beruntung. Aku masih mampu melarikan diri dari kekejian belanda. Kini aku
tinggal bersama Pak Tarno seorang
pemilik kebun teh yang juga harus bekerja pada belanda. Pak Tarno sudah
menganggapku seperti anak sendiri. Nasib pak Tarno pun sama naasnya sepertiku
beliau juga harus kehilangan seluruh keluarganya karna perilaku belanda. Dan
kini beliau hanya tinggal sendiri. Dimasa tuanya ini beliau masih tetap saja
harus bekerja keras untuk belanda. Padahal umurnya sudah hampir genap 70 tahun.
Ku
hentikan membaca buku itu sambil membayangkan jaman dimana belanda benar-benar
telah menjadikan negeri ini seperti boneka mereka. Ku buka halaman berikutnya
lalu kubaca lagi.
5 mei
1945
Hari
ini seperti biasa aku membantu Pak Tarno memetik hasil kebun lalu membersihkan
rumah dan menyiapkan sarapan untuk Pak Tarno. Saat aku berada didapur aku
mendengar Pak Tarno sedang berbicara dengan seseorang. Ku coba melihatnya dari
balik dapur. Dan ternyata belanda datang untuk menagih hutang pada Pak Tarno.
Namun sepertinya apa yang diberikan Pak Tarno kurang memuaskan bagi belanda.
Aku pun perlahan keluar menghampiri Pak Tarno lalu bersembunyi di punggungnya.
“apakah
ini anakmu..??” tanya belanda sambil melihatku seperti seekor singa yang telah
menemukan mangsanya dan ingin melahapnya.
“jangan
sentuh dia” teriak Pak Tarno
“aku
punya sebuah perjanjian denganmu. Mulai sekarang kau tak perlu membayar lagi
hutangmu pada kami asalkan kau menyerahkan anak manis ini.”
“tidak.!!
Aku tidak akan menyerahkan dia pada penjajah keji seperti kalian.” Tolak Pak
Tarno sambil menggenggam erat tanganku
Lirikan
mata belanda yang begitu menginginkanku semakin membuatku takut dan semakin
erat pula pelukan ku pada pak Tarno.
“cepat
bawa dia pergi” seru salah satu penjajah itu pada kawannya yang lain
Dengan
sigap Pak Tarno langsung mengeluarkan sebuah celurit yang tersimpan di balik
pinggangnya. Dengan seketika aku melihat banyak sekali darah berceceran
dimana-mana. Terjadi aksi pembunuhan antara penjajah dan Pak Tarno. Aku bingung
aku bersembunyi dibalik kursi dengan wajah panik.
“cepat
pergi dari sini Rani.” Seru pak Tarno padaku
Dengan
segera aku berlari keluar dari rumah itu.
“kejar
dia” seru belanda
Aku
berlari sekencang-kencangnya tak peduli harus terjatuh dan terpeleset. Aku tak
tau arah. Aku hanya bisa berari sekencang-kencangnya melarikan diri dari belanda
yang mengejarku. Perasaan takut terus menyelimutiku. Aku berlari hingga menuju
hutan. Tak kuat rasanya aku berlari aku pun terjatuh untuk kesekian kalinya
namun aku mencoba untuk berdiri lagi. Lalu berlari sejauh mungkin. Nafasku
terengah-engah, aku sudah lelah. Setelah aku melihat kufikir belanda memang
sudah tidak mampu mencariku lagi. Aku telah lolos. Hatiku seketika lega. Namun
perasaan was-was masih tetap ada. Tiba-tiba terdengar seperti langkah sesorang.
Aku mencari sebuah batu dan bersembunyi di balik pohon. Semakin dekat saja
langkah kaki itu terdengar. Lalu sebuah tangan membekap mulutkku. Aku
meronta-meronta ingin melepasan diri.
“sssttt
tenanglah Rani ini aku.”
Aku
tak tau siapa yang membekapku saat ini, yang kufikirkan hanya belanda. Mungkinkah
belanda menangkapku. Kalaupun benar aku hanya bisa pasrah.
“kumohon
tenanglah jika kau terus bergerak dan berteriak belanda akan mendengarmu.”
Seketika
aku langsung diam dan menuruti kata orang ini. Dia mulai melepaskan tangannya.
Lalu aku menoleh.
“Mas
Adi.!!”
“ya
ini aku.”
“tapi
bagaimana bisa mas adi... bukankah mas adi sudah”
“ya..
waktu belanda menyerang desaku aku sedang pergi berladang lalu aku mendengar
baku tembak itu terjadi.” Aku tak mampu berbuat apa-apa karna disitu hanya ada
aku. Yang kufikirkan hanyalah nasib kedua orang tuaku dan adik-adikku. Setelah
baku tembak itu selesai aku mencoba kembali kedesa. Lalu yang kudapati hanyalah
tumpukan mayat-mayat yang berserakan. Seluruh keluargaku telah tertembak mati
dan terbunuh. Sejak saat itu aku mengikuti golongan pemuda dan ikut berjuang
untuk meraih kemerdekaan. Setelah aku berlatih selama beberapa bulan aku
kembali untuk mencarimu Rani dan tak kudapati dirimu. Aku berfikir kau juga
menjadi mangsa penjajah itu. hingga akhirnya aku menemukanmu disini.”
“ya,
aku bersyukur mampu melarikan diri dari mereka.”
“bagaimana
keadaan keluargamu.??”
“tidak
ada yang selamat mas hanya aku seorang.”
“oh
tenanglah Rani sekarang kau tak perlu kuatir aku disini.” Sambil memeluk Rani
Mas
adi adalah teman masa kecilku sejak kami duduk dibangku SD kami selalu bermain
bersama. Mas adi sudah seperti saudaraku sendiri dan kini hanya dia yang
kupunya.
“Rani ada yang ingin aku bicarakan.”
“apa
mas.??”
“alasanku
mencarimu tak hanya karna aku ingin menemui mu tapi aku juga ingin...”
“ingin
apa mas.??”
“aku
ingin melamarmu Ran. Maukah kau menjadi ibu dari anak-anakku.”
“apa..??
kau yakin dengan apa yang kau katakan mas..??”
“ya
aku benar-benar yakin Ran. Bagaimana jawabanmu..??”
“aku...
ya aku mau mas.”
Saat
itu adalah saat paling bahagia dalam hidupku. Saat dimana orang yang aku cinta
melamarku. Disaat yang menurutku bukanlah saat yang tepat. Namun kami
melakukannya. Kami menikah ditengah suasana sedang terjadi baku tembak
dimana-mana. Aku bahagia dan sejak saat itu kami berdua berjuang bersama-sama
meraih kemerdekaan bangsa. Mas Adi jarang berada di rumah. Dia sekarang jauh
lebih aktif melawan para penjajah bersama pahlawan-pahlawan bangsa yang lain.
Sore
itu tiba-tiba pintu rumah kami diketuk seseorang. Aku pun bergegas keluar.
Berharap itu adalah mas Adi. Dan memang benar mas Adi telah pulang namun mas
Adi tidak sendiri mas Adi di gotong beberapa orang. Tubuh mas Adi pun bersimbah
darah. Aku menyuruh mereka meletakkan tubuh mas Adi di sofa. Melihat keadaan
Mas Adi yang bersimbah darah akupun menangis tiada henti.
“apa
yang terjadi.??”
“mas
Adi tertembak penjajah saat dia sedang berperang tadi.” Jawab salah satu warga
“ mas
adi bangun mas.”
“Ran,kenapa
kamu menangis. Percayalah aku tak apa.” Kata mas Adi terbata-bata sambil
tersenyum.
“bagaimana
aku bisa tenang melihat keadaanmu seperti ini mas. Aku akan bawa kamu
kepuskesmas”
“ tidak
perlu Rani aku ingin disini bersamamu.” Menarik tanganku
“ya
mas aku akan selalu disini bersamamu. Mas ada berita baik.”
“apa
itu Ran..?”
“aku
mengandung anakmu mas. Sebentar lagi kamu akan jadi ayah.”
“oh
ya. Syukurlah aku bahagia atas berita ini Ran.”
“ya
mas.”
“tapi
Ran jagalah anak kita baik-baik. Aku yakin kau akan mendidik anak ini menjadi
anak yang berarti untuk bangsa kita.”
“tidak
mas jangan berkata seperti itu. kita akan menjaganya bersama-sama. Berjanjilah
akan hal itu”
“ya
Ran aku berjanji.”
Seketika mas adi meninggalkan aku anak kami dan dunia.
Telah banyak yang dilakukan mas Adi demi kemerdekaan ibu pertiwi. Dan aku
beruntung pernah memiliki suami sepertinya. Setidaknya aku sekarang juga
memiliki anak yang berjiwa seperti mas Adi. Kini anak kami telah bertumbuh
menjadi remaja yang kuat. Selama ini aku mendidiknya dengan baik. Dan aku memasukkan
dia ke sekolah militer. Aku yakin kelak dia akan menjadi putra bangsa, pahlawan
bagi ibu pertiwi sama sepertimu mas...
Berakirlah catatan diary itu. Lalu sebuah goresan nama
tertulis dipojok buku itu. Aku masih tak percaya ternyata apa yang terjadi
dijaman itu. Betapa besar usaha nenek untuk mencari perlindungan, lalu
bagaimana nenek kembali dipertemukan dengan orang yang dia cinta serta
bagaimana nenekpun harus kembali tegar kehilangan orang yang dia cinta. Tak
salah jika selama ini nenek tidak pernah menikah lagi. Dia sangat mencintai
kakek melebihi apapun. Sungguh besar cinta nenek pada kakek dan sama
sebaliknya.
“Marwah ternyata kamu disini. Mama panggil daritadi tiada
jawaban. Mama cariin kemana-mana ternyata kamu disini. Ngapain kamu di kamar
nenek..??”
“oh mama. Maafin Marwah ya.Aku tadi keasyikan di kamar
nenek. Hem gak apa kok ma.” Sambil melirik buku harian nenek dan
menyembunyikannya dari mama.
“ Ehm bukannya mama mau masak yah..?? bikinin aku ayam
richa-richa ya ma.” Sambil senyum-senyum lalu mendorong mama keluar ruangan
“kamu ini kenapa sih kamu kok tiba-tiba jadi gini.”
bingung
“ hemz gak apa ma. Uda yuk ma ayo kedapur aku sudah
laper nih.”
“iyah-yah Ran sabar yah.”
Bergegas ke dapur. Buku itu kuletakkan di atas meja.
Berkat buku itu aku jadi terinspirasi untuk melakukan hal yang berbeda demi
negeri kita ini. Masa muda memang harus digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat
terutama untuk masa depan bangsa Indonesia agar benar-benar merdeka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar