Sabtu, 23 Juni 2012

(Cerpen) Buku Harian Kemerdekaan


Haloo, kali ini gue mau share tentang cerita drama gue .Ini sebenarnya buat drama bahasa Inggris, tapi ini naskah aslinya jadi masih pake bahasa Indonesia. Sumbernya dari cerpen bikinan temen gue @siskarfa .Dari judulnya aja udah keliatan kalo cerpen ini tentang semangat nasionalis. Cerita ini buat mengenang jasa para pahlawan kita dan juga di dalamnya diselipin juga kisah cinta dan keluarga. Seru deh.Pokoknya baca aja deh . Happy reading ya ,gue harap lo semua suka sama cerita yang di dalemnya sarat akan pesan nasionalis .(langsung nyanyi Indonesia Raya). Oke kita mulai aja yah cerpennya .

Kuletakkan tas sekolahku lalu kurebahkan tubuh ini di sebuah sofa kecil untuk melepas lelah. Hari ini terasa begitu panas. Padahal sang surya baru saja menampakkan dirinya pada dunia. Ya hari ini aku pulang sekolah lebih awal dari biasanya. Kuraih remote televisi dan langsung terdengar alunan lagu kemerdekaan yang bersenandung indah di telinga ku selain itu seluruh stasiun televisi pun menayangkan siaran langsung upacara hari kelahiran bangsa kita Indonesia tercinta di Istana negara. Ya hari ini bertepatan dengan hari kelahiran bangsa kita. Genap lah sudah usia bangsa kita. Sudah 66 tahun bangsa kita merdeka tapi sudahkah kita benar-benar merdeka..? Selama ini masih banyak sekali konflik yang menyelimutinya tak hanya itu demo pun banyak terjadi disana sini. Terbangun dari lamunan sesaat meingat betapa menyedihkan keadaan Ibu Pertiwi saat ini.  Tiba-tiba ibuku memanggil.
“Marwah tolong ambilkan buku masak ibu di kamar.!”
“baik bu”
Bergegaslah aku pergi ke kamar ibu dan mencari buku yang diingkan beliau. Tak butuh waktu lama untuk mencari buku itu. hanya degan lirikan mata aku mampu mengetahui dimana buku itu. kuambil buku itu dan segera pergi menuju dapur. Tapi ketika aku ingin pergi kedapur. Mataku tertuju pada sebuah ruangan dengan pintunya yang agak terbuka. Entah mengapa aku merasa rungan itu memaksaku untuk memasukinya. 
“yah mungkin mama gak keberatan jika dia harus menunggu sebentar saja. Hemz aku hanya ingin melihat saja”
Kuputuskan memasuki ruangan itu. suasana berbeda langsung menyelimutiku. Terpajang sebuah foto disudut ruangan itu. tempat ini masih belum berubah. Hanya ada sebuah kasur meja rias lemari kecil. teringat akan 7 tahun lalu saat nenek ku yang kusayangi masih ada. Disinilah tempat beliau beristirahat dan disinilah beliau sering menceritakan beberapa dongeng-dongeng jaman penjajahan padaku. Namun kini semua hanyalah kenangan. Tuhan telah memanggil beliau disaat umurku genap 10 tahun. Mataku semakin tertuju pada sebuah laci terletak di samping kasur itu. kuhampiri laci itu lalu perlahan kubuka laci itu. tergeletak sebuah buku yang tampak kusam. Ku ambil buku itu. lalu kubersihkan dari debu-debu yang menyelimutinya.
“tampaknya buku ini sudah lama sekali.” Pikirku dalam hati
Ku buka perlahan buku itu dan dihalaman pertama tertulis.
‘Buku ini kutulis untuk suamiku, anakku serta cucuku yang tercinta’
                                                                                                                Maimunah
“ternyata ini buku harian nenek.” Semakin penasaran akirnya kubuka halaman demi halaman buku itu dan banyak sekali tulisan nenek disini. Ternyata semua dongeng yang diceritakan nenek itu benar. Dan nenek menulisnya pada buku harian ini.
22 maret 1945
Masih tersimpan dalam memoriku. Saat dimana belanda mulai menjajah negeri ibu pertiwi ini. Wajah ibu pertiwi yang dulu selalu tersenyum kini telah sirna oleh perlakuan para penjajah. Sungguh belanda begitu keji. Aku yang saat ini masih duduk di bangku SMP harus rela kehilangan ibuku tercinta. Ayahku tertembak mati di medan perang. Seluruh penduduk desa dibunuh secara keji. Banyak warga yang dijadikan budak dan wanita-wanita dijadikan pemuas nafsu belanda. Seluruh warga dipekerjakan tanpa diberi upah. Mereka harus membayar pajak setiap harinya. Dan bagi mereka yang tidak membayar pajak mereka akan dihukum mati. Namun disisi lain banyak sekali kaum pemuda yang berjuang demi kemerdekaan bangsa walau mereka harus rela mati ditangan penjajah. Tapi aku layak bersyukur. Aku mungkin termasuk warga yang beruntung. Aku masih mampu melarikan diri dari kekejian belanda. Kini aku tinggal bersama Pak Tarno  seorang pemilik kebun teh yang juga harus bekerja pada belanda. Pak Tarno sudah menganggapku seperti anak sendiri. Nasib pak Tarno pun sama naasnya sepertiku beliau juga harus kehilangan seluruh keluarganya karna perilaku belanda. Dan kini beliau hanya tinggal sendiri. Dimasa tuanya ini beliau masih tetap saja harus bekerja keras untuk belanda. Padahal umurnya sudah hampir genap 70 tahun.
Ku hentikan membaca buku itu sambil membayangkan jaman dimana belanda benar-benar telah menjadikan negeri ini seperti boneka mereka. Ku buka halaman berikutnya lalu kubaca lagi.
5 mei 1945
Hari ini seperti biasa aku membantu Pak Tarno memetik hasil kebun lalu membersihkan rumah dan menyiapkan sarapan untuk Pak Tarno. Saat aku berada didapur aku mendengar Pak Tarno sedang berbicara dengan seseorang. Ku coba melihatnya dari balik dapur. Dan ternyata belanda datang untuk menagih hutang pada Pak Tarno. Namun sepertinya apa yang diberikan Pak Tarno kurang memuaskan bagi belanda. Aku pun perlahan keluar menghampiri Pak Tarno lalu bersembunyi di punggungnya.
“apakah ini anakmu..??” tanya belanda sambil melihatku seperti seekor singa yang telah menemukan mangsanya dan ingin melahapnya.
“jangan sentuh dia” teriak Pak Tarno
“aku punya sebuah perjanjian denganmu. Mulai sekarang kau tak perlu membayar lagi hutangmu pada kami asalkan kau menyerahkan anak manis ini.”
“tidak.!! Aku tidak akan menyerahkan dia pada penjajah keji seperti kalian.” Tolak Pak Tarno sambil menggenggam erat tanganku
Lirikan mata belanda yang begitu menginginkanku semakin membuatku takut dan semakin erat pula pelukan ku pada pak Tarno.
“cepat bawa dia pergi” seru salah satu penjajah itu pada kawannya yang lain
Dengan sigap Pak Tarno langsung mengeluarkan sebuah celurit yang tersimpan di balik pinggangnya. Dengan seketika aku melihat banyak sekali darah berceceran dimana-mana. Terjadi aksi pembunuhan antara penjajah dan Pak Tarno. Aku bingung aku bersembunyi dibalik kursi dengan wajah panik.
“cepat pergi dari sini Rani.” Seru pak Tarno padaku
Dengan segera aku berlari keluar dari rumah itu.
“kejar dia” seru belanda
Aku berlari sekencang-kencangnya tak peduli harus terjatuh dan terpeleset. Aku tak tau arah. Aku hanya bisa berari sekencang-kencangnya melarikan diri dari belanda yang mengejarku. Perasaan takut terus menyelimutiku. Aku berlari hingga menuju hutan. Tak kuat rasanya aku berlari aku pun terjatuh untuk kesekian kalinya namun aku mencoba untuk berdiri lagi. Lalu berlari sejauh mungkin. Nafasku terengah-engah, aku sudah lelah. Setelah aku melihat kufikir belanda memang sudah tidak mampu mencariku lagi. Aku telah lolos. Hatiku seketika lega. Namun perasaan was-was masih tetap ada. Tiba-tiba terdengar seperti langkah sesorang. Aku mencari sebuah batu dan bersembunyi di balik pohon. Semakin dekat saja langkah kaki itu terdengar. Lalu sebuah tangan membekap mulutkku. Aku meronta-meronta ingin melepasan diri.
“sssttt tenanglah Rani ini aku.”
Aku tak tau siapa yang membekapku saat ini, yang kufikirkan hanya belanda. Mungkinkah belanda menangkapku. Kalaupun benar aku hanya bisa pasrah.
“kumohon tenanglah jika kau terus bergerak dan berteriak belanda akan mendengarmu.”
Seketika aku langsung diam dan menuruti kata orang ini. Dia mulai melepaskan tangannya. Lalu aku menoleh.
“Mas Adi.!!”
“ya ini aku.”
“tapi bagaimana bisa mas adi... bukankah mas adi sudah”
“ya.. waktu belanda menyerang desaku aku sedang pergi berladang lalu aku mendengar baku tembak itu terjadi.” Aku tak mampu berbuat apa-apa karna disitu hanya ada aku. Yang kufikirkan hanyalah nasib kedua orang tuaku dan adik-adikku. Setelah baku tembak itu selesai aku mencoba kembali kedesa. Lalu yang kudapati hanyalah tumpukan mayat-mayat yang berserakan. Seluruh keluargaku telah tertembak mati dan terbunuh. Sejak saat itu aku mengikuti golongan pemuda dan ikut berjuang untuk meraih kemerdekaan. Setelah aku berlatih selama beberapa bulan aku kembali untuk mencarimu Rani dan tak kudapati dirimu. Aku berfikir kau juga menjadi mangsa penjajah itu. hingga akhirnya aku menemukanmu disini.”
“ya, aku bersyukur mampu melarikan diri dari mereka.”
“bagaimana keadaan keluargamu.??”
“tidak ada yang selamat mas hanya aku seorang.”
“oh tenanglah Rani sekarang kau tak perlu kuatir aku disini.” Sambil memeluk Rani
Mas adi adalah teman masa kecilku sejak kami duduk dibangku SD kami selalu bermain bersama. Mas adi sudah seperti saudaraku sendiri dan kini hanya dia yang kupunya.
 “Rani ada yang ingin aku bicarakan.”
“apa mas.??”
“alasanku mencarimu tak hanya karna aku ingin menemui mu tapi aku juga ingin...”
“ingin apa mas.??”
“aku ingin melamarmu Ran. Maukah kau menjadi ibu dari anak-anakku.”
“apa..?? kau yakin dengan apa yang kau katakan mas..??”
“ya aku benar-benar yakin Ran. Bagaimana jawabanmu..??”
“aku... ya aku mau mas.”
Saat itu adalah saat paling bahagia dalam hidupku. Saat dimana orang yang aku cinta melamarku. Disaat yang menurutku bukanlah saat yang tepat. Namun kami melakukannya. Kami menikah ditengah suasana sedang terjadi baku tembak dimana-mana. Aku bahagia dan sejak saat itu kami berdua berjuang bersama-sama meraih kemerdekaan bangsa. Mas Adi jarang berada di rumah. Dia sekarang jauh lebih aktif melawan para penjajah bersama pahlawan-pahlawan bangsa yang lain.
Sore itu tiba-tiba pintu rumah kami diketuk seseorang. Aku pun bergegas keluar. Berharap itu adalah mas Adi. Dan memang benar mas Adi telah pulang namun mas Adi tidak sendiri mas Adi di gotong beberapa orang. Tubuh mas Adi pun bersimbah darah. Aku menyuruh mereka meletakkan tubuh mas Adi di sofa. Melihat keadaan Mas Adi yang bersimbah darah akupun menangis tiada henti.
“apa yang terjadi.??”
“mas Adi tertembak penjajah saat dia sedang berperang tadi.” Jawab salah satu warga
“ mas adi bangun mas.”
“Ran,kenapa kamu menangis. Percayalah aku tak apa.” Kata mas Adi terbata-bata sambil tersenyum.
“bagaimana aku bisa tenang melihat keadaanmu seperti ini mas. Aku akan bawa kamu kepuskesmas”
“ tidak perlu Rani aku ingin disini bersamamu.” Menarik tanganku
“ya mas aku akan selalu disini bersamamu. Mas ada berita baik.”
“apa itu Ran..?”
“aku mengandung anakmu mas. Sebentar lagi kamu akan jadi ayah.”
“oh ya. Syukurlah aku bahagia atas berita ini Ran.”
“ya mas.”
“tapi Ran jagalah anak kita baik-baik. Aku yakin kau akan mendidik anak ini menjadi anak yang berarti untuk bangsa kita.”
“tidak mas jangan berkata seperti itu. kita akan menjaganya bersama-sama. Berjanjilah akan hal itu”
“ya Ran aku berjanji.”
Seketika mas adi meninggalkan aku anak kami dan dunia. Telah banyak yang dilakukan mas Adi demi kemerdekaan ibu pertiwi. Dan aku beruntung pernah memiliki suami sepertinya. Setidaknya aku sekarang juga memiliki anak yang berjiwa seperti mas Adi. Kini anak kami telah bertumbuh menjadi remaja yang kuat. Selama ini aku mendidiknya dengan baik. Dan aku memasukkan dia ke sekolah militer. Aku yakin kelak dia akan menjadi putra bangsa, pahlawan bagi ibu pertiwi sama sepertimu mas...
Berakirlah catatan diary itu. Lalu sebuah goresan nama tertulis dipojok buku itu. Aku masih tak percaya ternyata apa yang terjadi dijaman itu. Betapa besar usaha nenek untuk mencari perlindungan, lalu bagaimana nenek kembali dipertemukan dengan orang yang dia cinta serta bagaimana nenekpun harus kembali tegar kehilangan orang yang dia cinta. Tak salah jika selama ini nenek tidak pernah menikah lagi. Dia sangat mencintai kakek melebihi apapun. Sungguh besar cinta nenek pada kakek dan sama sebaliknya.
“Marwah ternyata kamu disini. Mama panggil daritadi tiada jawaban. Mama cariin kemana-mana ternyata kamu disini. Ngapain kamu di kamar nenek..??”
“oh mama. Maafin Marwah ya.Aku tadi keasyikan di kamar nenek. Hem gak apa kok ma.” Sambil melirik buku harian nenek dan menyembunyikannya dari mama.
“ Ehm bukannya mama mau masak yah..?? bikinin aku ayam richa-richa ya ma.” Sambil senyum-senyum lalu mendorong mama keluar ruangan
“kamu ini kenapa sih kamu kok tiba-tiba jadi gini.” bingung
“ hemz gak apa ma. Uda yuk ma ayo kedapur aku sudah laper nih.”
“iyah-yah Ran sabar yah.”
Bergegas ke dapur. Buku itu kuletakkan di atas meja. Berkat buku itu aku jadi terinspirasi untuk melakukan hal yang berbeda demi negeri kita ini. Masa muda memang harus digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat terutama untuk masa depan bangsa Indonesia agar benar-benar merdeka. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar